Rabu, 06 Juli 2011

Rasional Islam (2)

Kaum Rasionalisme kebablasan, demikian pula Mu'tazilah
Paham Mu'tazilah, adalah aliran pemikiran Islam yang berkembang diabad ke lima atau ke enam hijriah. Paham inilah yang kita bahas pada tulisan yang lalu, adalah sebagai paham yang sangat mendewakan akal, atau logika, atau Rasio. Padahal tidak semua dapat dilogikakan karena keghaiban dan keanehan alam semesta serta kekuasaan penciptanya melampaui logika dan akal manusia. Latar belakang munculnya Paham ini adalah karena munculnya perbedaan pendapat dan cara berpikir ummat setelah wafatnya Baginda Rasulullah saw dan berkembangnya ilmu Filsafat dan logika yang berasal dari Yunani yang banyak mempengaruhi cara berpikir ulama pada masa abad kedua hijriah. Selain Paham Mu'tazilah sebelumnya berkembang paham Jabariyah dan Qodariyah, yang kedua-duanya juga memiliki kesalahan dalam berprinsip dan berpikir.

Walau ada yang baik yang diambil dari paham mu'tazilah, seperti menerima hukum kausalitas, tetapi hal tersebut kemungkinan besar adalah adopsi dari pemikiran filsafat Yunani (barat) dari pada hasil pemikiran mereka sendiri.

Dengan hanya mengandalkan logika semata maka, banyak celah kesalahan logika yang mereka ciptakan, demi mendukung peran logika dan hukum kausalitas, yang mereka perjuangkan dan pertahankan. Seperti tidak menerima takdir, dan ketentuan (Qadho) Allah. Padahal Takdir dan Qodho adalah elemen penting dari iman dan aqidah Islam. Karena jika mereka menerima takdir dan Qodho Allah, maka mereka meniadakan hukum kausalitas yang dibuat oleh manusia, artinya setiap perbuatan yang dibuat oleh manusia adalah perbuatan sebab akibat (kausalitas), sehingga manusia memperoleh hasil dari perbuatannya sendiri. Misalkan manusia menanam padi di sawah sehingga manusia mendapat hasil, berupa padi, oleh karena sebab manusia bertani dan bekerja di sawah.
Dan lain sebagainya.

Pengaruh filsafat Yunani sangat besar dengan mendewa-dewakan akal dalam memahami sesuatu. Yang tidak sesuai dengan akal maka mereka tolak, den tidak mau mempercayainya, walaupun hal tersebut sudah nyata di depan mata. Sehingga mereka tidak mau percaya pada hal yang gaib-gaib. Tidak percaya pada Malaikat, Jin, Iblis, Setan, dan hari akhirat karena tidak sesuai dengan akal dan rasio mereka atau tidak ada bukti yang syah. Terhadap ayat-ayat al-Quran yang berarti demikian mereka tafsirkan secara menyimpang dari arti sebenarnya.

Dalam Filsafat Yunani, besar sekali pengaruh Bapak filsuf barat, pemikir, ahli logika, dan ahli matematika, kala itu yang sangat Rene Descartes. Menurut Rene Descartes "semuanya tidak ada yang pasti, kecuali kenyataan bahwa seseorang bisa berpikir." Bahkan Rene sendiri pernah mempertanyakan dirinya,
apakah ia ada atau tidak ada. Kalau ada apa buktinya bahwa ia ada? Jangan-jangan tidak ada, apa pula buktinya jika ia tidak ada? Saya berpikir, berarti saya ada, cogito ergo sum.
Aliran filsafat yang dibawakan Rene ini berpendapat bahwa semua harus rasional. Bahwa semua yang tidak sesuai dengan rasional berarti tidak benar. Sekalipun itu hasil cerapan panca indra. Oleh karena itulah Rene meyakini atas keberadaan dirinya setelah separuh umur yang telah ia lewati.

Oleh sebab itulah kelompok pemikir Mu'tazilah berpendapat bahwa semua yang tidak sesuai rasio tidak benar dan tidak dipercayai. Pemikiran Mu'tazilah sebenarnya adalah kelompok pemikir yang berasal atau belajar dari kelompok pemikir Islam sebelumnya, yaitu kelompok pemikiran Qodariyyah yang berpendapat bahwa Manusia mempunyai kehendak bebas mutlak, dan kehendak bebas mutlak ini tidak berkaitan dengan kehendah Allah yang pencipta, tetapi manusia sendirilah yang menentukan nasib baik maupun buruknya.

Paham Qodariyyah ini sebenarnya tantangan dari paham Jabarriyyah sebelumnya yang menyatakan bahwa manusia dalam bertindak bukanlah kehendak manusia tetapi kehendak Allah sebagai sang pencipta dan penguasa, jika ada sandaran pada kehendaknya maka sandaran tersebut sandaran semu atau palsu.

Paham Asy 'Ariyah atau ahlu sunnah wal jamaah, berpendapat memadukan kedua pendapat itu, yaitu: Manusia dalam bertindak tidak bebas secara Mutlak. Artinya semua itu karena ada izin Allah swt. Namun demikian Allah memberi kebebasan pada manusia untuk berusaha dan berikhtiar untuk selalu senantiasa dalam jalan kebaikan dan kebenaran.

2 komentar:

  1. Kita harus hati2 dengan faham Islam rasional yg mengagungkan superioritas akal. Bukankah akal manusia itu buatan Allah, artinya sekehendak Allahlah kemampuan akal manusia untuk memahami rahasia kehidupan ini. Padahal juga bahwa ilmu Allah itu sangat luas, sedangkan ilmu manusia itu sangat terbatas. Terlebih lagi, dalam Islam akal fikiran manusia itu hanya menempati ranking kedua setelah qalbu. Rasulullah bersabda bahwa "Dalam tubuh manusia ada segumpal daging, jika baik daging itu maka baiklah manusia tersebut". Jadi kriteria baik seseorang diukur bukan dari akal tetapi dari qalbu/hatinya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya,.. benar sekali,.. hanya saja akal yang diberikan tuhan pada manusia masih banyak yang tidak mau menggunakan secara sebaik-baiknya, sehingga banyak yang mengatakan, "jadilah orang bodoh dan tetap bodoh" pendapat seperti ini tidak benar. Seandainya kita harus jadi orang bodoh, mengapa Allah ciptakan manusia berakal? Ada lagi yang berpendapat "Agama tidak bisa dilogika-logikakan, agama tidak sesuai logika. Pendapat ini juga tidak benar. Mengapa Allah dalam al-Quran beragument tentang alam ciptaanya, tentang keberadaanya yang penuh logika dan dapat diterima manusia. Jika Islam tidak sesuai dengan logika, pastilah tidak banyak orang yang mengikutinya, terutama dikalangan ilmuwan. Kalau Islam tidak menggunakan akal dan mencampakkan jauh-jauh akal dalam pelaksanaan agamanya, bagaimana mungkin Islam dapat menentukan tanggal 1 bulan Ramadhan dan 1 syawal secara tepat dan akurat? Memang benar hati dalam Islam mendapat tempat kedudukan yang tinggi, tetapi hati adalah hasil perenungan yang mendalam. Dalam proses perenungan ini, membutuhkan akal, dan pikiran yang bekerja dengan baik. Allahu a'lam.

      Hapus

Kabar dari Palestina tentang Upaya Gencatan Senjata.

Osama Hamdan: Gerakan Hamas berupaya dengan segala kekuatan dan efektivitas untuk mengakhiri perang di Gaza dan mengintensifkan upaya untuk ...